Rain and You in November
Waktu menunjukkan pukul 15.30, suasa perpustakaan menjadi
makin gelap karena hujan turun dengan lebatnya. Cahaya lampu masih belum bisa
mengalahkan gelapnya suasana perpustakaan yang memang berada di lantai 3. Suara
speaker pemberitahuan bahwa perpustakaan akan segera tutup, sudah terdengar di
seluruh penjuru ruangan. Aku dan dia masih sibuk mencari buku-buku untuk tugas
kuliah kami. Aku seorang gadis kecil yang sebenarnya sudah berusia 20 tahun.
Namun aku masih bersifat kekanak-kanakan, mungkin karena sifat pembawaanku yang
ceria, periang dan cerewet. Aku sedang menempuh kuliah pada semester 5 di salah
satu universitas di jawa tengah. Disitulah aku mulai bertemu dengan dia, dia
seorang mahasiswa tinggi, besar namun hatinya lembut. Dia satu tahun lebih tua
dari aku, namun kita berada di tingkat semester yang sama.
Hujan yang membasahi atap perpustakaan, petir yang
menggelegar dan membuat suasana perpustakaan menjadi menyeramkan tidak
menghambat usaha kami untuk mencari buku-buku yang kami butuhkan. Hingga
speaker itu berbunyi, aku dengan setumpuk buku yang aku cari untuk tugasku
sekaligus buku-buku yang aku carikan untuk tugas dia. saat itu dia mencoba
membantuku untuk membawakan buku-buku itu. Sayangnya perpustakaan hanya
mengizinkan kami meminjam 3 buku saja dan saat itu hanya aku lah yang membawa
kartu peminjaman perpustakaan. Mau tidak mau buku yang dia pinjam harus atas
namaku.
Aku berjalan mengantri untuk menulis nama di buku
peminjaman. Dia kusuruh untuk menunggu di luar. Terlihat dari jendela di
sela-sela perpustakaan, dia sudah menggendong tas ku yang memang berat berisi
laptop dan buku-buku. Aku tersenyum melihatnya, begitu pula dia yang tersenyum
kembali melihatku. Kita berjalan menelusuri tangga perpustakaan untuk keluar.
Sayangnya hujan tak kunjung reda. Perpustakaan hampir tutup dan hanya kami
berdua mahasiswa yang terjebak di dalamnya. Mau tidak mau, kita berdua harus
menunggu di luar.
Hujan semakin deras, petir semakin menggelegar dan angin semakin kencang. Kita duduk di bawah atap depan perpustakaan. Saat itu aku
sedang sibuk mengirim email untuk dosen karena aku sebagai ketua kelompok, dan
salah satu anggotaku adalah dia. dia menenangkanku yang saat itu sedang panik.
Handphone kami lowbat dan laptop pun
ikut mati dan akupun gagal mengirim tugasku. Hanya benar-benar kita berdua yang bermodalkan suara untuk
memecahkan suasana yang sepi. Hari mulai sore namun hujan tak kunjung reda.
Suasana bosan dan dingin mulai menghampiri kita, karena angina yang kencang
membawa air hujan menyambar tubuh kita.
Kami berbincang sepanjang sore itu, dimulai dari membahas
tugas kuliah hingga masalah pribadi termasuk masa lalu masing-masing. Aku
mengenal dia sejak aku menjadi mahasiswa baru, tetapi untuk mengobrol berdua
dengan dia rasanya baru di sore itu. Kita bukan teman yang cukup dekat, namun
di sore hari itu rasanya kami menjadi teman dekat yang sedang sama-sama
menunggu hujan yang entah kapan berhentinya. Aku tak menyangka dia mulai
menceritakan masa lalunya padaku, heran karena selama ini kita belum pernah
berbincang secara langsung berdua melainkan hanya di chat dan itupun hanya
membahas seputar kuliah saja.
Dingin mulai menusuk tubuh kami, dia mulai bertanya “kamu
dingin?” kepadaku yang mulai meminggir ke pojokkan karena air hujan mulai
merembes karena kencangnya angin. Aku hanya mengangguk. Dia menyuruhku bergeser
dan mendekat ke badannya. Aku mendekat kepadanya, badannya hangat. Sembari aku
duduk disampingnya, dia berkata lagi “maaf ya aku tidak membawa jaket, jadi
kamu kedinginan”. Aku hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala, pertanda
tidak papa.
Satu minggu sebelum peristiwa perpustakaan itu terjadi, aku
dan dia mulai sering chatting untuk membahas tugas-tugas kuliah yang mulai
menumpuk. Saat itu perasaanku kepadanya masih biasa saja, hingga kejadian
perpustakaan itu. Dia mengalami masalah di sebuah tugas, dan aku bersedia
dengan senang hati untuk menemaninya ke perpustakaan untuk mencari buku yang
bisa dia gunakan mengerjakan tugasnya. Di sore hari itu, entah mengapa aku
merasa ada kebahagiaan karena hujan. Bukan karena aku pecinta hujan dan bahagia
ketika hujan turun, tetapi karena aku bersama dia sama-sama menunggu hujan.
Obrolan A hingga Z kita bicarakan hingga kehabisan kata-kata, namun hujan masih
belum kunjung reda.
“maaf ya gara-gara menemaniku ke perpus, kamu jadi terjebak
hujan” tiba-tiba dia memecah suasana sepi dengan suara beratnya. Aku
menjawabnya dengan santai dan tersenyum, aku berkata tidak papa. Bahkan dalam
hatiku aku berkata “justru karena ini aku bahagia sama kamu”. Kenyamanan yang
kudapatkan saat bersama seorang lelaki yang terakhir kali aku rasakan sejak 4
tahun lalu, saat aku masih bersama pacarku yang dahulu. Semenjak kami putus,
aku belum merasakan bahagia dan nyaman jika bersama seseorang pria. Dia
menurunkan bahunya karena dia tahu aku lelah duduk tegang bersender di tembok
perpus. “sini kalau kamu cape” sambil ia menunjuk bahunya, pertanda dia
menyuruhku untuk bersandar di bahunya. Tanpa basa-basi karena aku mulai
mengantuk dan lelah, aku bersandar di bahunya. Hampir saja aku tertidur di bahu
lebar nan nyaman itu, tetapi dia selalu mengajakku ngobrol untuk meramaikan
suasana.
Waktu menunjukkan pukul 17.30 dan adzan maghrib akan
berkumandang. Untungnya hujan mulai reda dan kami pun pulang. Sesampainya aku
dirumah, Line ku berbunyi. Saat aku cek ternyata ada pesan dari dia yang
menanyakan apakah aku sudah sampai rumah atau belum. Aku tersenyum melihat
pesan itu, ternyata dia peduli kepadaku yang pulang dengan nekat karena masih
gerimis dan rumahku terbilang cukup jauh dari kampus. Aku membalas pesan itu
dengan cepat, akhirnya aku dan dia mulai membahas hal yang lain lagi lewat
chatting. Entah mengapa aku selalu tersenyum ketika melihat pesan dari dia.
terkadang dia mulai menggombaliku dengan berbagai kata-kata manis dan jawaban
yang terkadang membuatku tertawa.
to be continue....
Komentar
Posting Komentar