Pada
bab ini menjelaskan mengenai perspektif penggunaan internet baik dalam hal
akses, politik, community involvement dan forms of expression. Dengan adanya
perkembangan teknologi, penggunaan new media atau internet semakin meluas di
masyarakat. namun yang harus dingat bahwa penggunaan internet tentunya memiliki
dampak positif dan negative bagi masyarakat. Bahkan internet sendiri dapat
menjadi boomerang bagi masyarakat. dalam chapter 4 ini membahas adanya
perspektif pesimis dan optimis dalam hal akses internet.
Pada
perspektif pesimis mengenai akses internet membahas mengenai adanya
kekhawatiran tentang akses internet atau media online yang tidak sama dan
berimplikasi pada manfaat yang juga tidak sama pula pada setiap orang.
Penelitian menunjukkan masyarakat minoritas seperti orang Afrika-Amerika dan
Hispanik non-putih sangat kecil kemungkinannya untuk memiliki computer dirumah
dan kurang memiliki akses terhadap jaringan. Dibandingkan dengan masyarakat
kulit putih dan asia. Oleh karena itu, masyarakat Afrika-Amerika dan Hispanik
non-putih kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menggunakan internet
(neu et.al, 1999). Howard et,al (2002) menunjukkan bahwa laki-laki, orang-orang
yang berkulit putih, orang yang berpendapatan tinggi, orang yang memiliki
pendidikan tinggi dan yang memiliki pengalaman lebih banyak lebih, biasanya
lebih sering menggunakan internet. Beberapa jumlah penelitian yang menunjukkan
bahwa mengenai kurangnya hal akses internet dialami oleh orang berpendidikan
rendah, wanita, orang tua, mereka yang berpendapatan rendah, mereka sangat
rendah dalam penggunaan hal-hal yang berbau online, dikarenakan kurangnya
pengalaman dalam menggunakan jasa online. Aspek-aspek inilah yang membuat akses
internet tidak dapat tersebar secara merata di seluruh lapisan masyarakat.
Di indonesia sendiri, akses internet
juga belum merata. Perbedaan usia, jenis kelamis, pengalaman dan pendidikan
menjadi factor penentu penggunaan internet. Menurut survey Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2012, mengatakan bahwa
pengguna internet lebih banyak di dominasi oleh kaum pria yaitu sebesar 51.6%.
sedangkan sisanya sebanyak 48,4% wanita. Tak hanya mengenai gender, survey
APJII juga menemukan bahwa usia produktif penggunaan internet di Indonesia
yaitu sekitar umur 16-35 tahun. Pada orang-orang yang berumur lebih dari 60
tahun dikatakan jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan internet.
Dalam perspektif pesimis dijelaskan
bahwa banyak aspek yang menyebabkan penggunaan akses internet tidak merata di
seluruh masyarakat. di indonesia sendiri, orang-orang yang berada di daerah
perbatasan atau pedalaman kesulitan untuk menggunakan internet. Contohnya yaitu
di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Wilayah Malinau berbatasan langsung
dengan Malaysia dan untuk mencapai wilayah Malinau ini harus melewati medan
yang sulit sehingga masyarakat disana agak kesulitan untuk mengakses jaringan
internet. Pemerintah Kalimantan telah membangun infrastuktur yang dinamakan SISKOMPAD
(Sistem Komunikasi Terpadu). Jaringan Sistem
Komunikasi Terpadu adalah penyediaan jaringan komunikasi berupa data, suara dan
video yang ditransmisikan melalui kombinasi media yang menggunakan kabel,
wireless dan VSAT (Tehnologi Satelit). Pemanfaatan tehnologi ini digunakan untuk
lokasi yang tidak terjangkau oleh kabel ataupun radio wireless.
Selain adanya SISKOMPAD,
pemerintah daerah Kalimantan khususnya untuk wilayah Malinau juga menyediakan Program
Internet Desa dengan cara
membuka akses informasi melalui pemasangan wifi di Kantor Camat dan terkoneksi
pada radio wireless, masyarakat dapat memanfaatkan jaringan wifi tersebut untuk
mengakses internet dengan sharing
bandwidth sebesar 10 MB diluar jam kerja kantor. Selain itu, dibeberapa
titik fasilitas public di Malinau, telah disediakan free hotspot untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang akan menggunakan jaringan internet.
Jika
dalam perpektif pesimis dijelaskan mengenai adanya aspek penggunaan internet
yang tidak bisa dirasakan oleh semua orang, kini pasa perspektif optimis akan
menelaskan mengenai Internet yang telah memberikan kemudahan akan berbagai
informasi bagi semua kalangan masyarakat atau dengan kata lain apapun sifat,
manfaat dan bentuk teknologi pasti membawa hal yang positif dan negatif pada
masyarakat. dalam
perspektif optimis menjelaskan setiap orang dapat menggunakan internet,
termasuk kaum disable atau orang cacat. Penelitian baru (ECRL,
1999: Howard et.al, 2002: Katz dan Rice, 2002a) menemukan bahwa perbedaan ras
dan gender dalam akses internet merupakan variable lain yang dapat diperhitungkan
secara statistic. Yang lebih ditekankan pada perspektif ini adalah upaya-upaya
untuk mengatasi beberapa keterbatasan pada akses yang disebabkan karena sebuah
keadaan yang cacat. Untuk membuat para masyarakat yang mengalami kecacatan,
khususnya tunanetra. Maka muncul sebuah software yang dinamakan JAWS (Job
Acsess Windows Speech). JAWS diproduksi oleh the
Blind and Low Vision Group (Freedom Scientific) di St. Petersburg, Florida,
Amerika Serikat. JAWS sendiri dilengkapi dengan layar yang memiliki kemampuan
untuk melafalkan teks (text-to-speech) yang ditampilkan atau ada juga
yang dengan menerapkan teknologi braille display.
Software ini tentu sangat bermanfaat bagi penderita Tunanetra.
Di indonesia
sendiri, JAWS masuk pertama kali pada tahun 1991 dibawah naungan Yayasan Mitra
Netra. Namun penggunaan JAWS di indonesia sendiri masih terbilang jarang,
karena harganya mencapai 1200 dollar Amerika. Tetapi mahalnya harga JAWS tidak
menyulutkan minat seorang tunanetra untuk belajar dan menjelajahi dunia maya.
Salah satu contohnya yaitu seorang penyandang tunanetra asal Jakarta bernama
Adi yang merupakan seorang mahasiswa Universitas Atmajaya Jakarta. Ia belajar untuk
menggunakan internet berawal dari 2004 yang dibantu oleh software JAWS ini. Bahkan
ia mengakui bahwa belajar menggunakan
computer sangat sulit, namun karena gigih berlatih maka ia berhasil
menggunakan computer dan mengakses internet karena software JAWS. namun JAWS
sendiri masih menggunakan English
language yang menyulitkan bagi tunanetra yang tidak bisa berbahsa inggris.
Tetapi kini
di indonesia dikembangkan JAWS versi 7.10 yang dikembangkan oleh Ario Bimo yang
seorang peneliti dari ITB. Modifikasi ini membuat JAWS dapat membaca dan
mengeluarkan suara dalam bentuk bahasa indonesia. Sementara itu, tim peneliti dari Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dipimpin Oskar Riandi sejak 2003 juga
mengembangkan sistem komputer yang ramah bagi penyandang tunanetra dan
tunadaksa yang dinamakan webTTS (text to speech) yaitu berupa software yang
dapat merubah teks menjadi suara yang dapat didengar oleh penyandang tunanetra.
Dengan beragam software yang diciptakan oleh peneliti di indonesia diharapkan
akan membantu para penyandang tunanetra untuk belajar computer dan dapat
menjelajahi internet.
Daftar Pustaka:
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New
Media : Social Shaping and Social Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd.
London. Chapter 4 : Perspective on Internet Use:
Access, Involvement an Interaction
Komentar
Posting Komentar